Cegah Kekerasan Seksual, KEMENPPPA : Masyarakat Dapat Ambil Peran

“Prinsip zero tolerance kekerasan seksual bisa diterapkan di lingkungan masyarakat, di antaranya dengan cara membudayakan literasi, menyosialisasikan TPKS, serta menciptakan lingkungan yang aman dari tindak pidana kekesaran seksual. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pemulihan bagi penyintas dan keluarganya, misalnya dalam proses pendampingan atau rehabilitasi sosial.”

Redaksi

HIPAKAD63.News | JAKARTA,–

Plt. Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan mengatakan, masyarakat dapat berkontribusi dalam mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini disampaikan dalam Sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bersama Niciren Syosyu Indonesia (NSI) dan Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia (SGPP-KWI) pada Jumat (30/9).

“Prinsip zero tolerance kekerasan seksual bisa diterapkan di lingkungan masyarakat, di antaranya dengan cara membudayakan literasi, menyosialisasikan TPKS, serta menciptakan lingkungan yang aman dari tindak pidana kekesaran seksual. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pemulihan bagi penyintas dan keluarganya, misalnya dalam proses pendampingan atau rehabilitasi sosial.” ujar Indra, di Jakarta, Jumat (30/9).

Indra menegaskan, pemahaman masyarakat terkait UU TPKS dapat membantu korban untuk berani melapor dan mendapatkan keadilan. “Bagi masyarakat yang mengalami, mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan segala bentuk kasus kekerasan, dapat melapor melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129,” kata Indra.

Menurut Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma NSI, Suhadi Sendjaja kesadaran serta kepedulian dari masyarakat akar rumput merupakan poin utama dalam implementasi II TPKS. “Banyak kejadian pelecehan maupun kekerasan seksual yang sangat sulit keluar dari bawah tanah. Mungkin saja data yang hari ini sudah tercatat masih belum mencerminkan realita jumlah dan jenis kasus kejadian. Pelecehan dan kekerasan seksual membutuhkan perhatian yang khusus. Sosialisasi yang dilaksanakan pada hari ini tentunya memberikan edukasi untuk memahami UU TPKS serta pelibatan publik untuk dapat secara aktif berpartisipasi dalam pencegahan kekerasan seksual di masyarakat,” ujar Suhadi.

Sekretaris SGPP-KWI, Natalia menekankan, pihaknya berkomitmen mengembangkan sosialisasi terkait UU TPKS melalui jejaring SGPP di 37 keuskupan yang ada di 34 propinsi di Indonesia.  “Dengan demikian Gereja telah turut berperan aktif mendukung,  serta melindungi anak dan dewasa rentan, serta berpihak pada korban kekerasan seksual agar segera dipulihkan harkat dan martabatnya dengan pengakuan bahwa pencegahan dan keadilan  saling melengkapi,” ungkap Natalia.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Sub Bagian Sumber Daya Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Pusinafis) Kepolisian Republik Indonesia, Rita Wulandari Wibowo mengatakan, saat ini masyarakat sudah mulai proaktif mengambil peran dalam sosialisasi dan implementasi UU TPKS.

“Mulai dari sekarang kita harus cerdas membekali siapa pun agar paham terkait kekerasan seksual dan dari sinilah kita akan terus menyuarakan agar korban berani speak up karena di dalam pembuktian, kita tidak hanya mencari atau mengumpulkan saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami kekerasan seksual, tetapi dengan perluasan makna putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka orang yang mendapatkan cerita dari korban dapat dikatakan sebagai saksi dan kesaksiannya dapat digunakan sebagai alat bukti,” tutur Rita.

Founder Institut Perempuan, Valentina Sagala menjelaskan, terdapat 9 jenis TPKS yang diatur dalam UU TPKS, yaitu pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

“Dalam UU TPKS terdapat pengaturan delik atau unsur 9 jenis TPKS tersebut. Namun demikian, UU ini juga menyebutkan sepuluh jenis TPKS lainnya, seperti perkosaan, perbuatan cabul, pornografi, pelacuran, dan lain sebagainya, tetapi unsur dan ancaman pidana kesepuluh jenis TPKS tersebut telah diatur dalam UU lainnya, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan menyatakan sepuluh jenis kekerasan seksual ini juga termasuk TPKS, maka hak-hak korban bisa menggunakan UU TPKS, termasuk restitusi,” pungkas Valentina.

Sumber : kemenpppa.go.id

Download aplikasi https://hipakad63.news untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://hipakad63.news
iOS: https://hipakad63.news