Siapakah Yang Harus Bertanggung Jawab, Pertamina – Patraniaga Atau BPH Migas?
hipakad63.news| Jakarta — Kelangkaan solar yang terjadi di sebagian wilayah Sumatera dan Jawa dalam beberapa hari belakangan ini sempat memunculkan kegusaran di tengah masyarakat. Bahkan Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi pun sampai memanggil pejabat PT Pertamina di daerahnya untuk menjelaskan persoalan ini. Kelangkaan solar ini juga mendapat sorotan dari pengamat energi.
“Kenapa kalau terjadi kegaduhan kelangkaan semacam ini Pertamina-Patraniaga yang selalu disalahkan?” ujar Ugan Gandar.
Kelangkaan solar ini bukan kesalahan dari Pertamina untuk memproduksi atau pengadaan solar. Tapi hal ini terkait dengan permasalahan kuota. Kuota yang diputuskan oleh BPH Migas tidak sesuai dengan keadaan yang di lapangan, demikian analisa awal dari Ugan Gandar, Pengamat Energi yang juga mantan pegawai Pertamina ini dalam konferensi pers dengan media di Jakarta, Selasa (2/11/2021).
Bagi Ugan Gandar yang juga pernah menjabat sebagai Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) periode 2004 sampai 2015 ini, Pertamina itu mendapat penugasan dari pemerintah sebagai operator untuk mendistribusikan BBM ke seluruh pelosok tanah air sesuai dengan Perpres No. 69 Tahun 2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, sedangkan kuota ditentukan oleh BPH Migas sehingga berapa pun kuota yang diputuskan oleh BPH Migas tentu akan dipenuhi oleh Pertamina – Patra Niaga.
“Saya sebagai mantan orang Pertamina paham betul cara kerja dari orang Pertamina bahwa Pertamina itu mendapat penugasan sebagai operator. Jadi berapapun yang diputuskan oleh BPH Migas harus dipenuhi. Nah itu adalah loyalitas Pertamina terhadap pemerintah. Ketika itu diputuskan, misalkan 1 juta ton untuk satu tahun, maka Pertamina harus menjalankan perintah itu. Siapkan 1 juta ton. Namun jika kemudian ternyata BPH Migas yang menentukan kuota ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan, ya jangan Pertamina yang disalahkan,” kata Ugan.
Kelangkaan solar yang terjadi itu menurut Ugan ada kemungkinan kuota yang ditentukan oleh BPH Migas meleset dari kebutuhan di lapangan.
“Saya melihat ini bukan kesalahan Pertamina untuk memproduksi solar, tapi ini penentuan kuota yang tidak sesuai dengan di lapangan. Saya yakin analisa yang saya lakukan ini kuota yang diputuskan BPH Migas tidak sesuai dengan keadaan di lapangan. Mungkin salah satu alasan dari BPH Migas untuk menentukan 15 juta kilo liter itu, mungkin salah satu karena adanya PPKM. Sehingga dianggap sampai akhir Desember itu jika diteruskan PPKM maka akan cukup 15 juta kilo liter. Tapi nyatanya ketika bulan Oktober PPKM dibuka maka ada lonjakan-lonjakan konsumen. Akibatnya, ketika ingin memenuhi semua kebutuhan tentunya kuota yang ada tidak sampai di ujung Desember,” ujar Ugan.
Untuk memenuhi kebutuhan kelangkaan solar tersebut, kemudian BPH Migas pun memutuskan untuk relaksasi.
“Relaksasi itu bukan penambahan kuota tetapi ada kuota yang kehabisan di suatu wilayah ditutup dari wilayah lainnya yang masih memiliki kuota. Nanti mereka yang kehabisan akan ditutup lagi dan itu akan terus-terusan tidak akan pernah berhenti apabila kuotanya tidak ditambah. Oleh sebab itu solusi yang betul adalah BPH Migas harus berani menambah kuota. Tapi BPH Migas tidak bisa serta merta sendirian, harus berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Jika Pertamina – Patraniaga sekarang harus melakukan penambahan kuota, saya yakin pasti bisa dilakukan oleh Pertamina-Patraniaga. Tapi uangnya dari mana dan akan menjadi beban siapa? Jangan sampai Patra Niaga yang sedang terpuruk, dibebani lagi sehingga membuat Pertamina-Patraniaga tambah terpuruk begitu,” tegasnya.
Soal kelangkaan solar ini hasil analisa dari Ugan Gandar hal Lain yang harus diwaspadai adalah terkait disparitas harga solar subsidi dan nonsubsidi terlalu lebar.
“Yang harus diwaspadai oleh kita adalah disparitas harga solar subsidi dan bukan subsidi terlalu lebar. Ini harus hati-hati. Kalau terlalu lebar misalnya harga industri Rp 11.000 kemudian harga subsidi Rp 7.000. Maka tentunya orang-orang yang berada di industri akan berusaha membeli solar murah yang haknya rakyat. Jadi, jangan kaget kalau kelangkaan-kelangkaan itu terjadi di daerah-daerah industri,’ jelasnya.
Bagi Ugan Gandar yang sudah lama aktif di Pertamina dan FSPPB juga melihat situasi kelangkaan ini juga ada upaya-upaya untuk pengecilan atau pengebirian terhadap kemampuan PT Pertamina-Patraniaga yang dilakukan oleh invisible hand.
“Yang pertama Pertamina tidak boleh pegang uang, yang kedua disparitas harga terlalu lebar, yang ketiga adalah pembatasan kuota. Ini jika disparitas terlalu lebar, orang industri ambil yang subsidi, maka yang terjadi adalah kelangkaan solar seperti saat ini, kemudian akan ada yang dioplos. Maka yang akan rusak nama Pertamina. Kemudian soal kuota. Diputuskan kuota 15 juta kiloliter, tetapi kenyataan pada bulan Oktober atau November habis, maka di bulan Desember akan terjadi kelangkaan. Ketika terjadi kelangkaan solar itu maka nama yang jelek sudah pasti Pertamina atau Patra Niaga. Kenapa tidak ada yang pernah menyalahkan BPH Migas, kenapa?” kata Ugan.
Selanjutnya, kekhawatiran dari Ugan pada saat Pertamina dibuat holding dan subholding mulai tampak terjadi.
“Dengan adanya holding dan subholding maka semua subholding mempunyai kinerja/KPI masing-masing. Bahwa subholding-subholding yang ada di Pertamina itu yang notabene core bisnis semua tentu mencari untung dan dengan biaya seefisien mungkin. Apalagi jika sudah di-IPO-kan. Ini sudah saya prediksi sejak lama. Ini kelangkaan-kelangkaan BBM segala macam itu karena akan dilakukan efisiensi oleh subholding. Apakah oleh shipping, Patra Niaga atau lainnya. Karena mereka kan harus untung. Jika tidak untung maka direksi bisa dicopot. Apa yang saya khawatirkan sudah mulai terlihat,” ungkapnya.
Hal lain yang lebih parah menurut Ugan apakah BBM satu harga masih bisa dilakukan oleh Pertamina-Patraniaga?
“Ini bisa terjadi karena orang shipping untuk mengangkut BBM akan berpikir karena jauh dan biaya mahal. Memangnya ada orang shipping yang bisnis dishipping akan mau merugi. Ini bukan mustahil dikemudian hari dengan adanya holding dan subholding bahkan di-IPO tidak akan terjadi lagi BBM satu harga. Shipping pasti rugi besar. Shipping cari untung. Jadi yang pertama memang kuota, kedua subholding itu melakukan efisiensi biaya, Ketika ini terjadi sebuah ledakan kelangkaan, pemerintah tidak mau kecolongan dan disalahkan. Maka yang terjadi adalah pressure terhadap direksi-direksi Pertamina cukup tinggi. Mereka bekerja mati-matian. Akhirnya apa yang akan dilakukan efisiensi akan hilang. Karena mereka harus mengguyur semua, supaya tidak ada kelangkaan minyak. Karena bisa merugikan pemerintah dan akan ada gejolak politik. Oleh sebab itu pula saya mewanti-wanti agar pemerintah lebih berhati-hati dengan membuat holding dan subholding ini, apalagi dengan di-IPO-kan,” jelasnya.
Apalagi hingga saat ini restrukturisasinya belum tuntas, entah sampai kapan. Disamping itu juga, Ugan mempertanyakan keberadaan BPH Migas apakah masih dibutuhkan.
“Jika yang mengatur kuota itu Pertamina tanpa ada keberadaan BPH, maka apapun yang diminta oleh Pemerintah tanpa harus koordinasi dengan Kementerian Keuangan bisa BBM tersebut pengadaannya berapapun yang dibutuhkan. Itu menjadi tanggung jawab Pertamina. Pasti Pertamina lebih komprehensif dan prudent ketika membuat prediksi kebutuhan BBM tahun ini dan tahun depan dan segala macam. Analisa potential problem akan dilakukan secara detail dan akurat Karena kalau dia tidak tepat di dalam menentukan kebutuhan tersebut, maka itu menjadi tanggung jawab Pertamina. Semestinya jika ini hanya sampai bulan November atau awal Desember, beda bila kuota ditentukan oleh BPH Migas, mustinya kelangkaan seperti yang terjadi saat ini menjadi tanggung jawab BPH Migas karena mereka yang menghitung kuotanya, itu. Pertanyaannya masih perlukah BPH migas dipertahankan?” pungkasnya. (***)