Pewarna Indonesia Gelar Diskusi Hybrid Tentang Kedamaian Dan Keadilan Di Tanah Papua Tanpa Hoaks

Redaksi

Hipakad63.news Jakarta –

Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA Indonesia) kembali menggelar Diskusi Hybrid dengan tema, “Tegakkan Kedamaian dan Keadilan di Tanah Papua Tanpa Hoaks” dengan narasumber Prof. Dr. Drs. H. Henri Subiakto, SH., MA (Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI Bidang Hukum), Theo Litaay (Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden), Dorince Mehue (Anggota Panitia Urusan Rumah Tangga Majelis Rakyat Papua), dan Sugeng Teguh Santoso (Ketum DPP PERADI Pergerakan).

Diskusi yang dipandu Ashiong Munthe, Ketua Depatemen Litbang Pewarna dan didukung Vox Point Indonesia, Asosiasi Pendeta Indonesia, Majelis Umat Kristen Indonesia, Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia, dan Persatuan Masyarakat Kristen Indonesia Timur ini berlangsung di Gedung Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), Jl. Salemba Raya No. 12, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, hari ini, Rabu (9/6).

Terputusnya jaringan internet di Kota dan Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi, dan Kabupaten Keerom menjadi awal paparan Prof. Henri Subiakto. Penyebabnya, menurut Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI Bidang Hukum, adalah putusnya system komunikasi kabel bawah laut karena factor alam, bukan karena kesengajaan pemerintah.

“Paling ramai sekarang ini adalah terputusnya jaringan internet di beberapa kota dan kabupaten di Papua. Internet putus karna factor alam! Putusnya kabel bawa laut karena efek gunung berapi dibawah laut.

Tapi hoaxnya adalah diputus oleh pemerintah dengan alasan tidak ingin ribut-ribut”, tuturnya mengawali paparan tentang berita hoaks rugikan bangsa.
Lebih lanjut Prof. Henri Subiakto menjelaskan tentang fenomena komunikasi di era digital dimana siapapun bisa jadi komunikator, pemroduksi pesan, wartawan, pengamat, komentator, bahkan provokator.

“Hoax sepertinya sudah menjadi bagian dari hidup kita. Di Indonesia pengguna internet mencapai 202,6 juta, sehingga siapapun bisa jadi komunikator, pemroduksi pesan, jadi wartawan, jadi pengamat, jadi komentator, bahkan provokator. Media sosial Indonesia penuh carut-marut dimana perdebatan terjadi di medsos dan ditonton banyak orang”, jelasnya.
Prof. Henri Subiakto mengajak masyarakat untuk semakin cerdas bermedsos karena hoax dan disinformasi, hate speech dan radikalisme menjadi ramuan ampuh proxy war yang bisa menyebabkan terjadi pembelahan masyarakat, memunculkan kegaduhan, merusak demokrasi, menciptakan ketegangan konflik, hingga kekacauan dan peperangan bahkan bisa menghancurkan negara.


Sementara itu, Theo Litaay, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, menekankan soal pentingnya literasi digital dan penanganan ekosistem digital secara terpadu untuk mencegah hoax.
“Hoax terjadi karena literasi digital masyarakat rendah, kemampuan memilah informasi budaya cek-fakta rendah, awareness atas bahaya cyber-crime dan konten negative masih kurang. Ekosistem dunia digital belum ditangani secara terpadu; Antar pemangku kepentingan belum bersinergi, kurang tanggap dan regulasi belum komprehensif”, ungkapnya.
Narasumber ketiga Dorince Mehue, Anggota Panitia Urusan Rumah Tangga Majelis Rakyat Papua (MRP) menjelaskan peran MRP yang hadir bersamaan dengan UU Otsus Papua. Menurutnya UU Otsus harus dapat memberikan harapan bagi warga Papua.
“MRP hadir untuk menjaga hak-hak orang Papua. Kekayaan orang Papua adalah hasil tambang sebagai karunia Tuhan. MRP diberi kesempatan oleh 2 sampai 3 juta jiwa orang Papua. MRP satu-satunya Lembaga yang ada di Indonesia dengan tugas menjaga hak-hak dasar orang Papua”, jelasnya.
Terkait berita bohong atau hoax, Dorince menegaskan sikap warga Papua yang tidak mau dikacaukan oleh berita-berita bohong.
“Siapapaun bisa menyebarkan berita bohong tentang Papua karena kepentingan masing-masing. Kami warga Papua tidak mau dikacaukan oleh berita-berita bohong. Tanah Papua adalah tanah Injil dan kami harus pastikan bahwa tanah Papua harus menjadi berkat, kami harus hidup berdampingan dengan siapa saja yang datang ke Papua”, terangnya.
“Putusnya internet yang baru-baru terjadi sangat merugikan orang Papua dan ini merupakan pelanggaran HAM. Orang Papua hanya berkata, hanya Tuhan saja yang tahu, kenapa terjadinya pemutusan internet”, terangnya lagi.
Ditambahkannya, sebagai tanah damai dan tanah Injil, orang Papua benar-benar mengimplementasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
“Orang Papua sudah membuka diri bagi siapapun yang datang di Papua. Orang Papua punya komitmen bahwa Papua adalah tanah damai, Papua adalah tanah Injil dan Injil mengajarkan orang Papua tidak membeda-bedakan”, terangnya.
“Lima sila Pancasila benar-benar diimplementasikan oleh orang Papua. Orang Papua menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Injil diimplementasikan dengan amanatnya yaitu kasih. Bahasa orang Papua, siapa (orang Papua) yang masih menyebarkan hoax berarti dia dipakai “setan!”, terangnya lagi.
Pada akhirnya Dorince mengajak untuk bijaksana dalam merspon informasi.
“Jangan sebarkan kabar bohong! Jangan ikut membantu orang yang bersaksi dusta! Tidak semua berita harus direspon. Harus bijaksana apakah berita ini membangun atau tidak. Mari, sebarkan hoax yang positif”, ajaknya disambut tepuk tangan peserta diskusi.
Adapun narasumber terkahir, Sugeng Teguh Santoso (Ketum DPP PERADI Pergerakan), lebih menekankan soal penghapusan kekerasan dalam bentuk apapun di Papua sebagai solusi terciptanya kedamaian.
“Kedamaian di Papua, bisa terjadi bila ada penghapusan kekerasan dalam berbagai bentuk di Papua. Kalau Papua mau damai adalah penghapusan kekerasan!”, tegasnya.
Sementara itu beragam tanggapan dan pertanyaan pada narasumber disampaikan penanggap dari Vox Point Indonesia Goris Lewoleba (Waketum dan Juru Bicara Vox Point Indonesia), Pdt. Harsanto Adi, M.Th Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia, Djasarmen Purba, SH., Ketua Umum Majelis Umat Kristen Indonesia, Fredrik Pinakunary, SE., SH., Ketua Umum Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia, Yusuf Mujiono Ketua Umum Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia dan Sentot Dwi Urip Premono utusan dari Persatuan Masyarakat Kristen Indonesia Timur.
Diskusi diakhiri dengan penyerahan cinderamata kepada narasumber dan penanggap yang hadir baik secara onsite dan online. Foto Bersama menjadi bagian penutup acara.