Jakarta| hipakad63.news— Dengan wilayah kerja di lautan dan lintas negara, pelaut dapat disebut sebagai profesi yang sangat luar biasa. Karena itulah kualifikasi seorang pelaut dituntut untuk mempunyai keahlian dan keterampilan berstandar internasional. Hal itu sesuai dengan konvensi Standard of Training Certification and Watchkeeping (STCW) Amandemen Manila 2010 yang dikeluarkan oleh International Maritime Organization (IMO).
Menurut pengamat Keselamatan dan Keamanan Maritim di Indonesia yang juga menjabat sebagai salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar, di atas kapal sebagai lokasi kerja harus didukung dan dilindungi serta dipastikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan bagi seluruh Crew Kapal. Hal tersebut dipandang perlu mengingat dalam jangka waktu lama pelaut akan berada di atas kapal.
Sebelum berangkat berlayar, para pelaut memulai dengan menandatangani sebuah kontrak perjanjian yang disebut Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang merupakan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Perjanjian tersebut penting untuk melindungi keselamatan dan hak para pelaut. Sehingga andaikan terjadi perselisihan harusnya dapat diselesaikan terlebih dahulu secara musyawarah untuk mencapai mufakat di atas kapal.
Karena itulah Capt. Hakeng menyesalkan dengan terjadinya peristiwa yang kembali melibatkan Pelaut Indonesia yang baku hantam di atas kapal berbendera asing di luar negeri awal September lalu. Kasus semakin bertambah parah dengan pelaut tersebut memilih menyelesaikan permasalahan di darat (mencoba melakukan visum atas tindak kekerasan yang dialaminya) tapi patut diduga tanpa sepengetahuan dari nahkoda kapal, yang dibuktikan dengan yang bersangkutan turun tanpa Dokumen Imigrasi seperti Paspor dan Buku Pelaut yang diwajibkan bagi seorang Pelaut ketika hendak turun ke darat di negara lain. Bukan penyelesaian secara damai yang didapat. Malahan pelaut tersebut justru ditangkap oleh pihak berwajib di India karena kedapatan tidak membawa paspor saat melapor, seperti diberitakan di laman media online https://timesofindia.indiatimes.com/city/chennai/captain-of-korean-ship-crew-member-among-three-held-in-chennai/articleshow/86055589.cms.
“Apa yang terjadi pada ABK tersebut sangat disayangkan. Karena mereka turun dari kapal dan keluar dari pelabuhan tanpa seijin atasan. Malahan mereka melakukan visum dengan tujuan melapor ke pihak berwenang tanpa membawa dokumen imigrasi sebagaimana yang disyaratkan. Sehingga ditangkap mungkin dianggap sebagai pendatang tidak resmi,” ujar Capt. Hakeng kepada media di Jakarta, (19 Sep 2021).
Apa yang dilakukan ABK tersebut menurut Capt. Hakeng bisa menjadi citra kurang baik ke pelaut Indonesia lainnya, yang bisa dianggap tidak disiplin dan patuh pada aturan yang berlaku di negara lain. Contohnya tanpa membawa paspor atau buku pelaut. Di situasi sulit seperti saat ini, dimana perekonomian dunia sedang mengalami kontraksi akibat Pandemi Covid-19 dan mengakibatkan lapangan kerja semakin sulit di cari, maka menjaga performa merupakan sebuah keharusan.
“Masing-masing Pelaut membawa citra Bangsa Indonesia” pungkasnya.
Lebih lanjut Capt. Hakeng menyebutkan dalam pengabdian profesinya, seorang pelaut baik rating maupun Perwira harus memahami hukum kemaritiman, minimal yang berhubungan dengan dirinya pribadi. Serta memahami secara praktis hukum keimigrasian dan kesehatan negara-negara yang akan dikunjungi. Karena dalam KUHD pasal 385 dengan jelas disebutkan “Tanpa izin Nakhoda, anak buah kapal tidak boleh meninggalkan Kapal. Bila Nakhoda menolak memberikan izin, maka atas permintaan Anak Buah Kapal itu, ia wajib menyebut alasan penolakannya dalam buku harian, dan memberi keterangan tertulis kepadanya tentang penolakan ini dalam dua belas jam.”
Karena itu tidak berlebihan bila Capt. Hakeng mengharapkan para pelaut Indonesia bisa bekerja lebih profesional. Begitu juga untuk perusahaan perekrutan atau penempatan awak kapal dan pemilik kapal harus memikirkan kesejahteraan awak kapal.
Menurutnya, saat ini Pemerintah Indonesia juga perlu terus mengupayakan yang terbaik bagi tenaga kerja pelaut Indonesia. Pemerintah harus bisa memberi kepastian hukum, membentuk sistem perlindungan bagi pelaut dan menghormati hak asasi manusia dengan perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan nasional dan konvensi internasional.
Capt. Hakeng mengharapkan, untuk menjadikan lebih baik lagi, agar ke depan bisa diberikan pelatihan singkat bagi seluruh Pelaut Indonesia perihal memahami hukum maritim, hukum imigrasi dan hukum kesehatan.
Perihal hal tersebut, seluruh pelaut Indonesia harus mengacu kepada : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan ILO Convention No. 185 Concerning Revising the Seafarers’ Identity Documents Convention, 1958 (Konvensi ILO No. 185 Mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention, 2006, KUHD, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, PP. Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan sebagaimana telah diubah dengan PP. Nomor 22 Tahun 2011, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 30 Tahun 2008 tentang Dokumen Identitas Pelaut, PM. 70 Tahun 2013 tentang Pendidikan dan Pelatihan, Sertifikasi serta Dinas Jaga Pelaut dan PM. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan penempatan Awak Kapal. (*)